KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# .
Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT. Karena hanya dengan bimbingan dan petunjuknya penulisan
makalah ini yang berjudul “
Pendidikan Islam dan Globalisasi”
dapat terselesaikan walaupun dengan berbagai kekurangan.
Penulisan makalah ini selain sebagai tugas
wajib Mahasiswa, juga sebagai bahan diskusi dalam menghasilkan kesamaan
pemahaman pada mata kuliah kapita selekta.
Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan
saran guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Sekecil apapun arti
tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, karna
hanya milik Allah kebenaran yang mutlak dan Hakiki. semoga Allah senantiasa
memberikan Rahmatnya kepada kita semua. Amiin….
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................
Latar Belakang Masalah......................................................................................
Rumusan Masalah................................................................................................
Tujuan Pendidikan...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................
Pendidikan Agama Islam.....................................................................................
·
Gambaran
umum Pendidikan Islam..............................................................
Globalisasi............................................................................................................
·
Globalisasi ....................................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................
A.
Kesimpulan.......................................................................................................
B.
Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang Pendidikan
Islam dan Globalisasi dimana pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan
dengan pendidikan Akhlak dan Manusia,
lebih-lebih pada zaman sekarang ini. Di mana Tujuan pendidikan Islam adalah: pendidikan
akhlak. akhlak yang kami maksud disini yaitu: seperti yang dirumuskan oleh Ibnu Maskawaih adalah:
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan
perbuatan yang bernilai baik. Tujuan pendidikan islam yang ingin dicapai Ibnu
Maskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup Manusia dalam arti
yang seluas-luasnya.
Sedangkan Hubungan Manusia dengan pendidikan islam adalah: bila
dimensi ini di kembangkan dengan kajian pendidikan, maka dalam proses
mempersiapkan generasi penerus estapet kehalifahan yang Sesuai dengan
Nilai-nilai Ilahiyah, maka pendidikan yang ditawarkan harus mampu memberikan
dan membentuk pribadi peserta didiknya dengan acuan Nilai-nilai Ilahiyah.
Dengan penamaan ini, akan menjadikan panduan baginya dalam melaksankan amanat
Allah di muka bumi. Kekosongan akan Nilai-nilai Ilahiyah, akan mengakibatkan Manusia akan bebas kendali dan
berbuat seenaknya. Sikap yang demkian akan berimplikasi timbulnya Nilai Egoistic yang bermuara kepada sikap
angkuh dan sombong pada diri Manusia.
Berdasarkan nilai di atas Jelaslah bahwa untuk merealisasikan
tugas dan kedudukan Manusia tersebut dapat di tempuh Manusia lewat pendidikan.
dengan media ini diharapkan Manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan
oleh Allah SWT secara optimal, untuk merealisasikan kedudukan, tugas, dan
pungsinya.
Pemikiran Ibnu Maskawaih masih sejalan dengan tujuan pendidikan
Islam zaman sekarang. Bahkan mengenai pendidikan Akhlak sangat di tekankan dalam
Islam sampai kapanpun karena Rasululllah SAW sendiri di turunkan di bumi juga
dalam rangka memperbaiki Akhlak.
Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Al- Bazzaar, artinya
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak yang mulia”.
Berkaitan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan perbuatan yang bernilai baik dalam zaman ini disebut dengan
pendidikan karakter (character)
dimana karakter diartikan sifat yang sudah mendarah daging. Dan dalam
pengetahuan Afektif (sikap) adalah
berada dalam tingkatan tertinggi (puncak). Sehingga pemikiran Ibnu Maskawaih
ini juga masih relevan dengan perkembangan zaman.
Mengenai pendidikan Islam yang mencakup kebahagiaan hidup
manusia dalam arti yang seluas-luasnya adalah benar, akan tetapi masih belum
lengkap karena masih meninggalkan faktor keselamatan. Mengapa perlu ada
keselamatan disamping kebahagiaan ? Karena kita mengetahui banyak orang yang
bisa merasakan bahagia, bahkan bahagia yang seluas-luasnya. Namun ada kalanya
kebahagiaan tersebut belum tentu membawa keselamatan di Akherat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
dapat di rumuskan permasalahanya yaitu: apakah pendidikan islam mampu
menghadapi tantangan globalisasi
C.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam dan globalisasi ini adalah: supaya
dapat mengimbangi pendidikan Islam itu sendiri dan globalisasi, dan berjalan
sesuai dengan koridor masing-masing agar tidak terjadi tumpang tindih satu
dengan yang lainya.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM DAN GLOBALISASI
A. Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan akhlak
dan manusia, lebih-lebih pada zaman sekarang ini. Di mana Tujuan pendidikan
akhlak yang kami maksud disini yaitu seperti
yang dirumuskan oleh Ibnu Maskawaih adalah: terwujudnya sikap batin yang
mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan perbuatan yang bernilai baik.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Maskawaih bersifat menyeluruh,
yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Pendidikan Islam sering diartikan dan di terapkan secara sempit,
yakni sekedar upaya yang dilakukan secara sistematis dalam proses kegiatan
mengajar belajar agama, yang dijadikan sebagai pedoman hidup beragama dengan
lebih mengutamakan kuantitas dan kualitas vertikal, dan tidak di imbangi dengan
kualitas kehidupan antar Manusia.
Murtadha Mutahhari melukiskan gambaran Al-qur’an tentang Manusia
sebagai berikut;
Al-qur’an menggambarkan
Manusia sebagai mahluk pilihan sebagai khalifahnya dibumi,yang dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui tuhan bebas terpercaya dan rasa bertanggung jawab
pada dirinya maupun alam semesta, serta dikarunia keunggulan untuk menguasai
alam semesta, langit dan bumi. Manusia
dipusakai kearah kecendrungan yaitu: kebaikan
dan kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dengan kelemahan dan ketidak
kemampuan yang kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi itu tidak meghapuskan
kegelisahan mereka, kecuali kalau mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya.
Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam
menerapkan ilmu, mereka memiliki keluhuran dan martabat Naluriyah.[1] Akhirnya mereka dapat
secara leluasa memampaatkan nikmat dan karunia yang di limpahkan Allah kepada
mereka namun pada saat yang sama, mereka menunaikan kewajiban mereka kapada
tuhan. Tetapi dengan kedudukan yang demikian, manusia sering melupakan hakekat
dirinya sebagai hamba Allah. Manusia sering bertindak sewenang-wenang, tidak
mematuhi aturan yang mengikat dirinya, dan merasa congkak dan takabbur kepada
allah SWT. Dalam rangka menyadarkan
Manusia akan kedudukan sebagai hamba Allah, dalam Al-Qur’an terdapat pernyataan
agar Manusia mau berpikir tentang asal kejadianya.
Pendidikan Islam adalah: usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, keperibadian dan Akhlak mulia.[2]
Dalam pandangan yang lebih luas, Abdul Rahman Saleh
mendefinisikan bahwa pendidikan Islam diartikan: sebagai usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik dalam upaya menyakini, memahami, menghayati, dan
mengamalkan Agama Islam melalui kegitan bimbingan.[3]
B. Globalisasi
Globalisasi pada prinsipnya mengacu pada
perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi,
transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh
(menjadi hal-hal) yang bisa dijangkau dengan mudah.[4]
Dengan perkembangan tersebut, kini dunia seolah tidak lagi memiliki batas-batas
wilayah-ruang dan waktu. Dari belahan dunia manapun, orang bisa saling
menghubungi dengan mudah jika memiliki akses untuk itu, seperti telepon,
parabola, kaset, CD-ROOM, VCD-DVD, fasilitas internet dan lain sebagainya.
Setiap orang bisa menyaksikan siaran langsung tanpa perbedaan waktu tentang
apapun dari belahan dunia manapun jika ia memiliki TV dengan parabola yang
diperlukan.
Yang perlu di sadari, bareng dengan itu era globalisasi
ini membawa dan menghasilkan pertemuan dan pergesekan antar nilai budaya, nilai
adat istiadat dan nilai Agama dari seluruh dunia tanpa bisa dibatasi. Pertemuan
dan pergesekan tersebut, kita setuju ataupun tidak, akan mendorong munculnya
kompetisi dan persaingan liar, ini berarti saling pengaruhi dan mempengaruhi,
saling bertentangan dan bertabrakan antar nilai yang berbeda yang menghasilkan:
ada yang kalah atau ada yang menag,
atau bisa bekerja sama untuk saling memanfaatkan. Singkatnya, era globalisasi
dengan segala kecanggihan perangkat tekhnologi dengan imformasinya bisa bermata
banyak, paling tidak sebagai ancaman dan tantangan. Sebagai ancaman, perangkat
dan pasilitas globalisasi dapat ditunggangi oleh berbagai pengaruh negative
yang akan menjadikan masyarakat kita menjadi terpuruk dalam berbagai aspek
kehidupan terutama kehidupan moralnya, jika kita tidak pandai dan hati-hati di
dalam mengantisifasinya.
Nabi Saw. sejak awal kita percayai dan dikenal sebagai
pendidik, landasan dan bahan ajar utamanya tentu saja Al-qur’an. Yang merupakan
petunjuk kedalam jalan yang lurus dan kebenaran itu sendiri.
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x. ÇÒÈ
“ sesungguhnya al-qur’an ini menuntun kepada (jalan) yang lebih
lurus, dan mengabarkan bagi kaum mukminin yang beramal saleh, bahwa bagi mereka
ada ganjaran yang besar.”[5]
Dalam tradisi keilmuan islam, kenyataan historis
menunjukan bahwa Nabi Saw. merupakan guru tertinggi, yang hingga hari ini masih
tetap di pandang sebagai guru paling penting oleh kaum muslimin. Tidaklah
berlebihan bila dinyatakan bahwa hampir keseluruhan aspek kehidupan Nabi Saw
dapat dipandang sebagai bermuatan nilai pendidikan. Dan ini sudah banyak di
ungkap oleh para ahli sekedar sebagai penyegar ingatan, di sini hanya hendak di
ungkap ulang aspek membaca dengan cerdas.
Paradigma baru pendidikan di era globalisasi ini ilmu
itu dicari. Yang diperintahkan oleh Nabi Saw. itu adalah menuntut, mencari, bukan menerima ilmu. Dalam perspektif ini, dan karenanya
dalam perspektif global sekarang ini, tanggung jawab dosen/guru adalah
memotivasi, memfasilitasi dan menemani murid mencari dan menemukan ilmu. Murid
sendiri yang menemukan ilmu. Kecuali itu, paradigma baru dalam menyikapi ilmu,
ilmu tidak dalam posisi dimilki, tetapi dalam proses menjadi, dimana pencari
ilmu itu terus menerus dalam proses menjadikan dirinya menjadi ilmuwan yang
tidak kunjung berhenti (never ending).
Dalam era globalisassi, “sekolah boleh
selesai, tapi belajar tidak boleh/pernah selesai”. Masih dalam paradigma
baru bobot ilmu tidak terletak pada hasil akhir atau final product tapi pada proses metodologi atau cara mencarinya.
Dengan kata lain, inti pembelajaran baru adalah meneliti atau research, bukan lagi menerima barang
jadi. Hal ini sangat klop dengan doktrin pertama yang kita terima dan kita
yakini hingga hari ini,[6]
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
(1) Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,( 2). Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, (4)
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (5) Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Dengan demikian, perbaikan pendidikan untuk menuju
pendidikan bermutu dalam perspektif kepentingan global harus dilakukan secara
integral dan terpadu menyangkut semua aspek, karena memang saling terkait dan
pasti saling mendukung.
Dalam konteks kontemporer, budaya teks yang menjadi
basis keilmuan pesantren kini menghadapi era globalisasi yang banyak bertumpu
pada teknologi komunikasi dan informasi. Masyarakat dunia secara umum kini
sudah memasuki apa yang disebut. Everett
M. Rogers sebagai “information Society”.[7] Dalam perspektif komunikasi, disiplin
keilmuan di ibaratkan sebagai pesan (mesage) yang menjadi tujuan kontak antar
individu. “pesan” ini di demiasi oleh
“kanal” (channel) atau media yang
mengantarinya, dalam pemetaan sederhana semacam ini, budaya keilmuan yang di
miliki dunia pesantren, sebagai mana jenis- jenis ilmu lainya, tengah
dihadapkan pada “media” baru berupa perangkat tekhnologi komunikasi yang
tingkat perkembanganya sangat cepat.
Abdurrahman Wahid pernah menyebut pesantren sebuah
subkultur yang memiliki keunikan dan perbedaan cara hidup dari umumnya
masyarakat Indonesia.[8]
Meskipun Abdurrahman Wahid memosisikan pembahasan subkultural pesantren dalam
konteks pembangunan Nasional, pada dasarnya pesantren mengemban misi dakwah.
Pada titik inilah, dengan semboyan “Islam
Rohmatan Lil alamin” pesantren meski
memiliki keberanian untuk menghadapi dinamika yang terjadi dalam masyarakat.
Pesantren sebagai sebuah subkultur justru berada pada posisi yang terbuka
terhadap perubahan.
Di sini perlu dikemukakan kembali bahwa pesantren
memiliki watak kemandirian yang memungkinkanya untuk terus bertahan selama
berabad-abad. Eksistensi pesantren dalam jangka waktu yang lama ini
dimungkinkan oleh karakternya yang bisa bergerak selaras dengan perubahan
social.[9] Hal ini berhubungan suatu kaidah yang berasal
dari fiqih syafi’I yang berbunyi “al
muhafaazatu’ ala al qadim al- shalih wa al- akhzu bi al jadidi al ashlah.”
Dengan demikian, pesantren memiliki daya adaftif
terhadap perubahan. Hal ini bisa dipahami dengan menyadari adanya konteks
keterkaitan antara pesantren dengan masyarakat.
Kajian mengenai pesantren dalam era globalisasi telah di
lakukan oleh beberapa peneliti. Di antaranya adalah H.M. Muhtarom dalam buku
yang berjudul Refroduksi ulama di era
globalisasi. Ia melakukan penelitian dengan dua stady khasus, yakni di
pesantren Raudlatul ‘ulum desa guyangan dan pesantren bustanuttolibin.
Menurut Muhtarom,
pesantren pada umumnya merupakan representasi dari pada model pendidikan dalam
masyarakat tradisional. Keberlangsungan pondok pesantren kini berada di era
globalisasi yang di pengaruhi oleh penciptaan-penciptaan tekhnologi dan budaya
global yang cendrung mekanistik, efisien, dan bebas nilai. Globalisasi membawa
pengaruh pada tekanan dan desakan yang mempengaruhi berbagai gaya hidup yang
tradisional, termasuk disini adalah dunia pesantren.
Dari dua subyak penelitian yang di amati, Muhtarom
melihat bahwa globalisasi menimbulkan konplik Nilai-nilai social budaya.
Pengaruhnya terlihat dari tarik ulur penentuan model menejmen pesantren.
Penelitian yang menggarap tema ini adalah: Abdurrahman syah dalam bukunya: khazanah filosifis dan imflementasi kurikulum,
metodologi dan tantangan pendidikan moralitas. Berbeda dengan Muhtarom yang
beranjak dari stadi kasus, Abdurrahman syah mendasarkan kajianya di level
teoritis. Ia menelaah kemungkinan pemberdayaan sistem pendidikan Islam di era
globalisasi. Mula-mula ia menekankan pentinngnya islamisasi ilmu pengetahuan
untuk meniadakan dikotomi antara ilmu Agama dan ilmu modern atau umum.
Menurutnya; pendidikan Islam sudah sangat lama berada pada posisi pingiran atau
peripheral, sehingga kesulitan menghadapi kenyataan perubahan masyarakat
global bergerak sangat cepat.
Ia mengusulkan suatu rekonstruksi sistem pendidikan
Islam untuk menyosong era globalisasi. dalam pandanganya selama ini pendidikan
Islam lebih menitik beratkan pada sisi afeksi dan kurang perduli pada
perkembangan ilmu pengetahan dan tehologi dalam kontek global. Pendidikan Islam
seolah menyendiri dan “asyik” dengan dunianya sendiri. Padahal menurutnya,
pendidikan Islam memiliki sejumlah potensi nilai untuk menjadi counter bagi
konsep pendidikan sekuler materialistik yang di bawa oleh “barat” . ironisnya,
kuasa atas impormasi tehnologi lebih didomonasi oleh barat., sehingga
globalisasi lebih tampil sebagai penyeragaman tata nilai dengan barat sebagai
pusat (center) dan non- barat sebagai pinggiran (pheriperal).[10]
Jika Muhtarom tertarik untuk mendeskripsikan proses-proses yang terjadi di lapangan
atau pada tataran praksis, maka Abdurrahman syah lebih tertarik pada
konsep-konsep ideal tentang bagaimana pendidikan Islam yang seharusnya.
Sedangkan stadi ini lebih meliat Aspek-aspek yang mungkin diterapkan oleh
pesantren dalam menggunakan teknologi impormasi dan komunikasi (TIK) Moderen.
dan mengamalkan ajaran Agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-qur’an
dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan,serta penggunaan
pengalaman.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari gambaran di atas, tentang pendidikan Islam dan globalisasi dapat kita tarik
kesimpulan bahwa: pendidikan Agama Islam
adalah: terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan perbuatan yang bernilai baik. Sesuai dengan Tujuan pendidikan
yang dirumuskan oleh Ibnu Maskawaih yang
bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup Manusia dalam arti yang
seluas-luasnya. sedanggkan globalisasi dapat kita simpulkan bahwa: ilmu itu harus dicari.sesuai yang
diperintahkan oleh Nabi Saw. itu adalah menuntut, mencari, bukan menerima ilmu.
Dalam perspektif ini, dan karenanya dalam perspektif global sekarang ini,
tanggung jawab dosen/guru adalah memotivasi, memfasilitasi dan menemani murid
mencari dan menemukan ilmu itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
-
Ahmad
Musthofa Haroen, Asmuki, Muh.Khamdan,Tohirin, Muh. Muntahibun Nafis, Sudar.
2009, Khazanah Intelektual Pesantren, Jakarta:
CV. Maloho Jaya Abadi.
-
Muhammad
Taufik, 2007, Studi Interdisipliner
Pemikiran Pendidikan Islam, IAIN Mataram: LENGGE Printika.
-
Ramayulis,
2008, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia.
-
Khairil
Anwar Dan Ramli, 2010, Mengikhtiarkan
Pendidikan yang Egaliter,…..: Kreasi Wacana.
[1] Murtadha Mutahhari,
perspektif al-qur;an tentang manusia dan agama, terjemahan jalaludin Rahmat , (Bandung : mizan,
1984), h. 121-122
[2] Lihat UUSPN No. 20 Tahun 2003
3 Abdul Rahman Saleh, Tahun 2003 hal:
3
[5] Qs. Bani- israil/ 17:9.
[6] Konsep belajar dalam Qs. Al- alaq/ 96:1-5. Pada dasarnya dapat
di pandang sebagai model belajar “hadap masalah” di mana printah
membaca di iringi dengan arah atau objek (menurut sebagian mufasir) yang bisa
di pahami sebagai penuh konsep problematis, menurut pemecahan kreatif.
[7] Everet M.Rogers,Comunikation tecknology: the New Media in Society,
the Free press: Canada. 1986, hal. 10
[8] Abdurrahman Wahid, pergulatan
Negara,Agama,dan kebudayaan, desantara: Jakarta,2001, hal. 133
[9] Lebih lanjut lihat Manfred zemek,pesantren dalam perubahan social, p3m : Jakarta,1983
[10] Abdurrahmansyah, pendidikan
islam. Khazanah metodologi dan filosofis dan
implementasi kurikulum , metodologi dan tantanga pendidikann moralitas, global
pustaka utama : Yogyakarta, 2005.
[11] Lihat, Kurikulum 2004 Standar Kopetensi mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam di SMA dan MA, (Jakarta: Depdiknas, 2003) h.4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar