MAKALAH:
DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi
penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan
melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi,
enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses
pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali.
Di dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan
sebagai suatu keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar.
Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses
belajar.
Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu
menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam
diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas
dari perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak
ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita
ini adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial
Belanda turut membentuk wajah pendidikan Indonesia.
Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi
yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena
pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama,
sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen
berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan,
kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative
baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme
lembaga pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada
diistilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar
ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya
seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan
,saya ini orang awam untuk urusan agama.
Pendidikan agama di sekolah menurut Zakiah Darajat sangat penting untuk
pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik karena mempunyai
aspek jiwa atau pembentukan kepribadian dengan memberikan kesadaran dan
pembiasaan melakukan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-laranganNya,
melakukan praktek ibadah, sopan santuan dalam pergaulan sesamanya sesuai dengan
ajaran akhlak agamanya akan menjadi bagian integral dari kepribadiannya ketika dewasa
nanti dan aspek-aspek pendidikan agama yang ditujukan kepada pikiran dan
kepercayaan.[[1]]
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di
Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya
pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan
yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti
Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban
narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang
sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan
berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan
penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
Sebagai permasalahan pendidikan yang dialami Indonesia
berdasarkan hasil penelitian lembaga-lembaga indefendent ataupun pemerintah
yang berkaiatan dengan dunia pendidikan diantaranya sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja
menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia,
yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem
pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta
Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.[[2]]
2. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan
jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006
mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP
sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang
paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba.
Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian
atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak.[[3]]
3. Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular
penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir
yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen
masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko
tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007
didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa
sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% .[[4]]
4. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM
Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi
Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah
Philipina , Thailand , Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India,
Indonesia sangat jauh tertinggal. [[5]]
5. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di
internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama
kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela
mengerjakan pekerjaan rumah. [[6]]
Itulah beberapa permasalahan pendidikan yang krusial
di Indonesia yang membutuhkan segera penyelesaian secara sistematis, terencana
dan terpola dengan baik. Jika tidak pendidikan kita mau dibawa ke mana dan
bagaimana generasi yang dihasilkan di masa depan?
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan pendidikan di Indonesuia apabila berkaca
dari beberapa permasalahan tersebut di atas dapatlah diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia yang
dinaungi oleh dua Departemen ( dahulu ) dan sekarang disebut kementerian yaitu
Kementerian Pendidikan Nasional yang menangani pendidikan umum dan Kementerian
Agama yang menaungi pendidikan agama dan keagamaan menimbulkan berbagai dampak
baik positif maupun negatif dalam tataran praktis.
2. Pemisahan dalam tataran konsep dan paradigma
pendidikan di Indonesia menimbulkan dampak terjadinya dikotomi dan dualisme
pendidikan.
3. Dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan membentuk
sistem pengkotak-kotakan dalam pendidikan di Indonesia baik antara pendidikan
umum dengan pendidikan agama, negeri dan swasta, sentralisasi dan
desentralisasi.
4. Terjadinya dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan
agama di Indonsia menimbulkan permasalahan jurang pemisah antara pendidikan
yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dengan pendidikan yang di bawah
Kementerian Agama baik dari sisi sarana prasarana, sumber daya manusianya,
maupun ketenagaannya.
5. Pendidikan agama Islam sebagai salah satu tonggak
penanaman pendidikan moral hanya sebagai mata pelajaran baik di sekolah maupun
di madrasah masih termarjinalkan dari mata pelajaran lainnya.
C. Batasan Masalah
Dengan luasnya permasalahan yang diidentifikasi dari
beberapa yang berhubungan dengan dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia,
maka pemakalah akan membatasi masalah dikotomi dan dulaisme pendidikan di
Indonesia yang berkaiatan dengan pendidikan agama Islam.
D. Rumusan Masalah
Melalui makalah ini dapatlah dirumuskan mengapa
pendidikan agama Islam di Indonesia masih terjadi dikotomi dan dulaisme?
E. Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah
pendekatan deskriptif-historis. Saya berusaha mengungkapkannya, menggambarkan
permasalahan yang saya angkat. Dalam tugas saya ini ada banyak tema besar yang
secara eksplisit dipaparkan yang saya kategorikan sebagai permasalahan yang
pertama yaitu dikotomi pendidikan , kedua dulaisme pendidikan di Indonesia,
dampak akibat dikotomi dan dulisme pendidikan serta bagaimana solusi yang
ditawarkan pakar pendidikan Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Dikotomi dan
dulaisme pendidikan
1. Pengertian Dikotomi
Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy
adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.[[7]] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai
pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.[[8]] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai
pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi
dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split
personality)[[9]]. Bagi al- Faruqi, dikotomi adalah dulaisme religius dan
kultural.[[10]]
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun
keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga
bisa muncul sekarang ini. Proses sejarah tersebut diawali perkembangan
pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan
perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan
pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengaruh dalam pembentukan
dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam.
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi
pendidikan Islam adalah dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan agama
Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu
pengetahuan.Dulaisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada
wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan
mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki
kebijakan masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam
akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam
yang kqffah (menyeluruh).
2. Pengertian Dulaisme
Perkataan “dulaisme” adalah gabungan dua perkataan
dalam bahasa latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo”
memberi arti kata dua. Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi
satu kata kerja. Dulaisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan.Secara terminologi dulaisme dapat diartikan sebagai
dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Oleh karena itu,
dulaisme ialah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah satu sistem atau teori
yang berdasarkan kepada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi.
Asal dualisme ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika
yang lahir dari alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan
raga manusia. Asal usul konsep dulaisme terkandung dalam pandangan hidup
tentang alam (world view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan
peradaban Barat.Gagasan tentang dulaisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak
zaman Plato dan Aristoteles yang memiliki pandangan berhubungan dengan
eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan.Plato dan
Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan” seseorang merupakan bagian dari
pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan
fisik.Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena
mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham
dulaisme ini melihat fakta secara mendua.Akal dan materi adalah dua substansi
yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu
sama lain.
Dulaisme yang dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René
Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi
nonfisik.Descartes adalah yang pertama kali memodifikasi dulaisme dan
mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan
otak, sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai
substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi
yang menempati ruang(extendedsubstance). Dengan demikian memang secara
ideologis diciptakan adanya dulaisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang
memperoleh sokongan pemerintah dan menjadi tanggung jawab Kementerian
Pendidikan Nasional dan madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang
mendapat perhatian dan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
B. Pandangan Islam mengenai dikotomi dan dulaisme
pendidikan
Ilmu sebagai dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam
pendidikan dapat kita kaji dan analisa dari Al-Quran dan Al Hadits, sebagaimana
diungkap Quraish Shihab,[[11]]
kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran dan 750
ayat al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya. Hal ini
mengisyaratkan agar manusia mengetahui dan memanfaatkan alam ini.Objek Ilmu
dalam Islam terbagi kepada dua bagian besar yaitu objek materi dan objek
non-materi. Seperti kaum sufi melalui ayat-ayat al-Quran memperkenalkan
ilmu-ilmu yang merela sebut al-hadlarat al-Ilahiyah al-Khams ( lima kehadiran
ilahi) sebagai gambaran keseluruhan realitas wujud, yaitu alam nasut ( alam materi),
alam malakut ( alam kejiwaan), alam jabarut ( alam ruh), alam lahut
(sifat-sifat ilahiyah, dan alam hahut ( wujud zat ilahi).
Selain itu banyak ayat al-Quran yang memerintahkan untuk berfikir tentang
alam semesta, melakukan perjalanan dengan titik tolak dan tujuan akhir karena
Allah, seperti dalam Surat Al-‘Alaq sebagai surat yang pertama kali diturunkan
diawali dengan kalimat Iqra dan diakhiri dengan kalimat “wasjud waqtarib” ini
merupakan indikator bahwa ilmu dalam Islam tidak dikenal Ilmu hanya untuk ilmu
dan tidak dibenarkan dalam Islam. Sementara sekarang ini berkembang ilmu itu
bebas nilai.[[12]]
Ulama-ulama kita dulu, tidak
pernah membedakan ilmu umum dan ilmu agama, semuanya penting, hanya menurut
Muhamad Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama perlu
diajarkan pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang
beragama, dia harus tahu hakikat agamanya, supaya punya identitas, sistem moral
yang kuat dan visi yang jelas.[[13]]
Bukti bahwa ulama dulu tak
pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas
keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Ini mengindikasikan Islam
sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmudari aspek keutuhan ilmu para tokoh
muslim, ulama terdahulu juga telah membuktikan kesatuan ilmu yang wajib
dipelajari.[[14]]Al-Kindi misalnya merupakan seorang filsuf sekaligus
agamawan, begitu pula al-Farabi. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran,
filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi
adalah ulama yang ahli matematika, al-Ghazali, walaupun belakangan popular
karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui
berbagai bidang ilmu yang diketahuinya, mulai dari ilmu fiqh, kalam, falsafah,
hingga tasawuf.Begitu pula Ibn Rusyd, seorang faqih yang mampu menghasilkan
karya magnum opus-nya Bidayat Al-Mujtahid, yang mampu mengsinergikan
filsafat dan ilmu fiqh.Ibn Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar
sosiologi modern dalam magnum opus-nya Al-Mukaddimah, yang sampai
sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari dari kalangan ummat Islam
maupun para orientalisme.
Jadi bisa dikatakan ternyata
orang dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu.Karena bagi mereka semua
aliran ilmu itu berada dalam satu atap bangunan pemikiran dan bersumber dari
Allah, Dzat yang Maha Esa.Tidak ada ilmu yang berdiri sendiri.Semuanya saling
terkait, saling melengkapi.Itu mungkin rahasia kenapa orang dulu bisa
menghasilkan karya berbobot dan bertahan di pasaran dalam jangka waktu sangat
lama, mereka punya otoritas keilmuan interdisipliner.
Konsep dikotomi ilmu masuk
bersamaan dengan diterapkannya metode dulaisme keilmuan agama non agama (ilmi
vs adabi).Proyek itu digalakan oleh Muhamad Ali Fasya, saat memimpin
Mesir.Tepatnya pasca dijajah Perancis,niatnya baik sebetulnya. Ia ingin
memajukan umat Islam melalui sains dan teknologi, tapi cara yang ditempuh tidak
tepat karena menghasilkan dulaisme keilmuan yang sangat berbahaya.[[15]]
Menurut H.M. Arifin,
Al-Quran sebagai sumber pedoman bagi umat Islam mengandung nilai-nilai yang
membudayakan manusia hampir dua pertiga ayat-ayat Al-Quran mengandung motivasi
kependidikan bagi umat manusia. Allah Yang Maha Kuasa secara langsung
menjadikan manusia baik atau jahat, pandai atau bodoh, bahagia atau celaka,
sehat atau sakit, merupakan suatu sistem berbagai proses yang pada dasarnya
sebagai mekanisme sebab akibat.[[16]]
Keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat menunjukkan betapa penting antara keduanya dan
saling berkaitan satu sama lain, maka dalam disiplin ilmu pun tidak harus
membedakan ini ilmu duniawi dan yang lain ukhrawi. Seperti beberapa ayat
berikut yang mengarahkan keseimbangan dalam pendidikan:
Artinya: “ Dan carila apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah
kepada orang lain, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan”[[17]]
“ … Dan apabila dikatakan , “berdirilah kamu”maka
berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11).[[18]]
Dikotomi
ilmu adalah konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan salaf.
Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah
bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Apa yang
diistilahkan orang-orang sekarang sebagai ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- Teologi,
Tafsir, Hadis,Fikih, dll) dan ilmu-ilmu umum (ilmu sekuler), dalam pandangan
Islam, pada batas tertentu, wajib dikuasai semuanya. Hanya istilahnya
dibedakan, kalau mempelajari ilmu agama (dasar-dasarnya) itu fardu ’ain.Artinya
wajib bagi setiap manusia Islam mempelajarinya.Sementara mempelajari ilmu-ilmu
umum adalah fardu kifayah.Artinya kalau secarafungsional sudah tercukupi
kebutuhannya maka gugur kewajiban bagi yang belum mempelajarinya.Artinya
terminologi dalam ranah keilmuan Islam sangat luas cakupannya menyangkut hal
yangbisa diverifikasi dan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka menerjemahkan
kalimat ‘ilmu dalam bahasa Arab dengan science (Inggris) menurut saya
tidak tepat. Karena istilah science sangat positivistik hanya
mendasarkan kebenaran pada realitas empiris belaka.
Secara
normative-konseptual, menurut Abdul Rahman Al Segaf,[19] dalam Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu. Jika kita
menoleh pegangan Islam yakni Al-Quran maupun Hadits kita tidak menemukan baik
secara tersirat terlebih lagi tersurat menemukan dalil mengenai dikotomi
ilmu. Justru sebaliknya Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang ilmu.
Sedangkan
menurut Ramayulis, dalam pendidikan Islam tidak dikenal pemisahan antara sains
dan agama.Penyatuan keduanya merupakan tuntutan akidah Islam.Allah dalam
doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk manusia, dan
menurunkan hokum-hukum untuk mengelola dan melestarikannya. Hukum mengenai alam
fisik merupakan sunnah Allah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk
kehidupan manusia dinamakan din Allah. Hal ini mengimplikasikan bahwa dalam
pendidikan tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan agama dengan pendidikan
sains. Peserta didik harus memahami Islam sebagi a total way of life, minimal
seorang pendidik harus dapat melakukan perubahan orientasi mengenal konsep ilmu
yang secara langsung dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan atau sebaliknya.[[20]]
Memandang berbagai hal dampak dan implikasi negatif
dari dikotomi ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah atau religious
sciences) dengan ilmu-ilmu umum (general sciences), maka sudah
waktunya bagi kaum Muslimkhususnya lembaga-lembaga Islamuntuk melakukan
“reintegrasi ilmu-ilmu”. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah cara
memandang kita selama ini yang masih mengkotak-kotakkan ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum haruslah direvolusi. Ilmu-ilmu dipandang sebagai satu kesatuan,
yang setara hierarkinya, yang dari perspektif Islam, sama-sama mendapat pahala
jika menuntut dan menekuninya.
Walau Islam mengajarkan integralisme keilmuan menurut
Azyumardi Azra ia menyebutnya tawhidic paradigm of sciencespada tingkat
konseptual, tetapi harus diakui bahwa pada tingkat praksis tidak jarang terjadi
disharmonisasi, dan dikotomi di antara keduanya, seperti dikemukakan penjelasan
di atas.[[21]] Bahkan
dikotomi sering menjangkau epistemologis, yakni antara wahyu dengan akal, atau
antara “ilmu-ilmu agama” dengan “ilmu-ilmu umum”. Sebab itu, guna mengatasi
disharmonisasi dikotomi tersebut para pemikir dan ilmuwan Muslim menawarkan
klasifikasi ilmu lengkap dengan hierarki mereka masing-masing.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nasr yang dikutip oleh
Azyumardi Azra, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan
dipandang dari persepektif Islam pada akhirnya adalah satu.[[22]]Dalam
Islam sendiri sebenarnya tidak ada pemisahan yang sangat esensial antara
“ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Hal ini dapat kita lihat misalnya
banyak intelektual muslim sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn sina, sampai
Al-Ghazali, Nashir Al-Din Al-Thusi, dan Mulla Shadra dalam berbagai disiplin
ilmunya dan perspektif inteklektualnya masing-masing yang dikembangkan dalam
kemajuan Islam memang mengandung hieraraki tertentu, tetapi pada akhirnya akan
bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan
subtansi dari segenap ilmu. Hal ini pula terbukti dan menjadi alasan kenapa
para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang
dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim kedalam hierarki ilmu pengetahuan
Islam. Kita lihat misalnya salah seorang murid Imam Malik, asy-Syafi’I (150-204
H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan kedua kubu.[[23]] Sehingga
pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa
diredam sedini mungkin. Kita akan lihat sejauh mana asy_Syafi’I merumuskan
dasar-dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr ad-Din ar-Razi dibandingkan
dengna posisi Aristoteles dalam bidang filsafat. Kalau Aristoteles berhasil
merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi mantiqnya (logika), demikian
asy-Syafi’I dianggap merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan
metodologi ushul fiqhnya seperti tertuang dalam master piece-nya ,ar-Risalah.[24]Artinya ini
menandakan dalam pembentuan dasar-dasar hukum Islam (ushul fiqh) sangat menyentuh
tradisi filsafat.
Selain asy-Syafi’I kita kenal nama dalam kancah
pemikiran Islam Al-Kindi merupakan pemikir Muslim pertama yang berusaha
memecahkan masalah klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah al-ulum
al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi
melibatkan pengguanaan akal dan nalar.Klasifikasi kedua adalah al-ulum
al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu intelek, yang diperoleh terutama penggunaan
akal dan pengalaman pengujian empiris.Dalam karyanya Fi Aqsam Al-Ulum
(jenis-jenis Ilmu). Ia disusul oleh Al-Farabi, yang melalui karyanya Kitab
Al-Ulum (Buku tentang Hierarki ilmu) memainkan pengaruh lebih luas.[[25]]
Tokoh-tokoh lain yang mampu dalam mengintegrasikan ilmu adalah Ibn Sina,
Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd yang semuanya mampu menjadi rujukan-rujukan
keilmuannya sampai didunia Barat.
Nah bagaimana dengan klasifikasi ilmu-ilmu yang
demikian rumit ?Hal ini menunjukkan kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang
dalam tradisi keilmuan dan perdaban Islam.Ilmu-ilmu agama hanyalah satu bagian
dari ilmu-ilmu Islam secara keseluruhan.Pada tingkat praksisi bisa dikatakan,
kemajuan peradaban kaum muslimin berkaitan dengan kemajuan seluruh aspekdan
bidang-bidang keilmuan. Jadi, tatkala bidang-bidang ilmu tertentu dimakruhkan,
apalagi diharamkan, maka akan terciptalah disharmoni, diskrepansi yang
mengakibatkan retardasi muslim secara keseluruhan.[[26]]
Menurut Ahmad Tafsir, penamaan ilmu-ilmu yang
berdasarkan al-Quran dan al-hadits kedalam kategori religius tidaklah dapat
diterima, karena akan mengakibatkan subjek-subjek selainnya seperti psikologi,
sejarah dan sebagainya menjadi tidak religius, padahal al-Qur`an tidak
mengkontradiksikan cabang-cabang atau subjek-subjek pengetahuan.[[27]]
Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan
manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut
dia, adalah pemberian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra
ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra
jasmaniyah. Manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga
terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan
ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset
manusia). Akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan
yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang
menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata
lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang
menjadi pusat jantung diri manusia.Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam
tingkat (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak
hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat
universitas. Karena universitas menurut al-Attas merupakan cerminan
sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di
dahulukan. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih
dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang
lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat
universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka
formulasi kandungannya harus didahulukan.[[28]]
Ilmu dan agama bukan sesuatu yang harus dipisahkan,
tetapi lebih pada saling mengisi. Enstain seorang ahli fisika mengemukakan
“ilmu tanpa agama adalah buta”.jadi semua punya titik temu yang mengarah pada
dogma agama sebagai muaranya. Ilmu pegetahuan bermuara ke filsafat dan filsafat
sebagai mother of secience “induknya ilmu bermuara ke agama.Jadi ilmu bukanlah
semata-mata otoritas duniawi yang berbeda dengan agama yang dipandang
berorientasi akhirat. Ini pemahaman yang salah dan harus diluruskan bahwa ilmu
itu adalah upaya akal untuk mengenal gejala alam yang tentunya sebagai cara
mengenal keagungan Allah.
Akar masalah dikotomi ilmu dalam Islam di Indonesia
persoalan pemisahan antara ilmu dan agama. Menurut Dr. Mochtar Naim dikotomi
pendidikan adalah penyebab utama dari kesenjangan pendidikan di Indonesia
dengan segala akibat yang ditimbulkannya.[[29]] Hal ini
merupakan warisan “leluhur” dari pihak koloni Belanda.[[30]]
Menjadi hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum
dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang masih membedakan
“ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences)
dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang mulai muncul
dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan di
kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia muslim
termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan pendidikan.[[31]]
Berbicara lebih jauh tentang pengdikotomian ilmu hal
ini sangatlah terkait dengan masalah dikotomi pendidikan (kelembagaan),
sehingga berimbas pada terjadinya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama
dalam arti kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman
kolonial Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum
kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar,
maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok pesantren, yang memang
sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial
Belanda. Karena tekanan politik pemerintah kolonial, maka sekolah-sekolah agama
Islam memisah diri dan terkontak dalam kubu tersendiri.Sehingga dengan
sendirinya mulailah pendidikan terkotak-kotak (dikotomi) antara pendidikan umum
dan pendidikan agama. Bila kita menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut
Azyumardi Azra, hal ini bermula dari historical accident atau
“kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik
tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat
dari kaum fuqaha.[[32]]
Setelah
kemerdekaan, dulaisme yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap
mengakar dalam dunia pendidikan kita. Pandangan beberapa pejabat yang menangani
bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong
sebagian pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula :
berdiri di kutub yang berbeda dengan sekolah umum. Oleh karena itu
keikutsertaan Departemen Agama secara historis dalam menangani sekolah-sekolah
agama sangat diperlukan. Sebab kalau tidak sekolah-sekolah akan berjalan dengan
arahnya sendiri-sendiri. Dengan tugas dan fungsinya dibidang pendidikan,
Departemen agama telah mengemban konsep konvergensi yaitu satu pihak memasukkan
pelajaran umum dalam kurikulum sekolah agama.[[33]]
Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri
Pendidikan, Menteri Agama dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan
madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan di
Indonesia,walaupun secara kelembagaan berjalan terus.[[34]] Akan
tetapi SKB tiga menteri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga
kini tetap menjadi-jadi.
Hubungan
antara ilmu dan agama ialah suatu pemikiran manusia terhadap kebenaran hakiki
Allah, melalui fenomena qauniyah dan fenomena aqliyah yang
berkembang terus menerus. Inti pemahaman hubungan tersebut ialah keimanan dan
ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang tercermin dalam sikap dan prilaku:
1)
Kebenaran Mutlak (al-haq) hanya kepada Allah semata dan kebenaran yang
dicapai manusia (dengan qauniyah atau naqliyah) hanya kebenaran
relatif
2)
Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama karena keduanya
berasal dari sumber yang sama
3)
Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran dan bukan satu-satunya
jalan pemecahan bagi problema kehiduapan manusia.
C. Faktor-Faktor yang menyebabkan timbulnya dikotomi dan dulaisme dalam
pendidikan
Lantas,
mengapa terjadi dikotomi ilmu?Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat
dari beberapa hal.Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu
sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang
disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan
induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian
jauh.Epistemologi merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut
juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas
tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga
tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari
epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.[[35]] Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala
ilmu (mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu,
anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi
cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan,
sosiologi pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut
pecah lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan
kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak pelak lagi hal ini
menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak
cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana
pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.[[36]]
Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika
mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800
M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra
hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada
masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat,
sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu
‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu
kifayah atau kewajiban kolektif.[[37]] Akibat
faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila
dibandingkan dengan umat dan negara lain.
Ketiga, faktor
internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya
pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum,
sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas
Islam.[[38]]
Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan
ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga
pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh
penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan
faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran
teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir
dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu,
iman-ilmu, Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga
mau tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi dikotomi tersebut.Bahkan
hal ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem
politik, budaya, hukum, dan seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis
yang dialami pendidikan Islam.
Setelah
kita berbicara mengenai akar masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan
dipaparkan penyebab dan akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam).
Kemunculan dikotomi pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh
Jasa Ungguh Muliawan, ia bermula dari historical accident atau
“kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik
tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat
dari kaum fuqaha.[[39]]Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam
pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi Azra ia melihat pada
persoalan-persoalan yang memang secara riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan
pendidikan Islam pada umumnya.
Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan
bahwa permasalahan dikotomi pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi
objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual baik itu pada tataran
epistemologisnya. Krisis konseptual tentang defenisi atau terjadinya pembatasan
ilmu-ilmu dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau melihat konteks
Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional.[[40]]
Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan
akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara
pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga
Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan
antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.[[41]]
Krisis konseptual yang dimaksud adalah terjadinya
pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam. Kita sering mendengarkan adanya istilah
ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang
kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah / religious
sciences) atau menurut Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral (transenden).[[42]] Sehingga
hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi
juga hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada bidang
kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.
Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi
antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari
ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas
sekali terefleksi di Indonesia; misalnya dengan adanya dulaisme sistem
pendidikan, pendidikan agama yang diwakili madrasah dan pesantren dengan
pendidikan umum; di tingkat pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan
perguruan tinggi umum.[[43]] Hal ini
dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah
naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat
berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN
dengan segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka
jurusan-jurusan ilmu-ilmu umum.Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan
masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.
Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua
(2) penyebab pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai
berikut:
1). Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia
Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang
ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad
ke-12 dan ke13M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib
dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan
kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana,
mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga
identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala
bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah.
Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka
memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para
leluhur.Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah
inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang
dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya
menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi
kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad
ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.[[44]]
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah
yang ditaklukkan Ottoman di Eropa.Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah
dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil
diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan
daerah jajahan.Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar
mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia
Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan
Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin muslim di
Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan
harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.[[45]]
2). Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan
Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan
pemikir adalah pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk
mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.Itulah
keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar berusaha
menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk
kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli
fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits,
guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha,
dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di
sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan
itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.[[46]]
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan
aksi ini pecah.Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para
pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh
manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak
memperoleh kearifan mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat
warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk
mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang
semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin
jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai
balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.[[47]]
Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat
Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di
dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam
terlena dalam kelesuan politik dan budaya.[[48] ]Mereka
cenderung menengok ke belakang ke romantisme kejayaan Islam masa silam. Para
sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya
masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang
dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi
secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu
pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.
Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk
menghilangkan dulaisme sistem pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan
dulaisme kehidupan, demi mencari solusi dari malise yang dihadapi umat,
pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil menghindari perangkap dan kekurangan
metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah
prinsip yang merupakan esensi Islam.[[49]] Untuk
menuang kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat
teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan
alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan
umat manusia.[[50]]
Dengan demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi
problem dikotomi kehidupan umat Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah
islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni pemaduan kedua sistem pendidikan antara
Islam klasik dan Barat modern melalui filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam
yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliyah-kuliyah
dan jami’ah-jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan
dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum
dengan proses islamisasi ilmu.
D. Sejarah timbulnya dikotomi dan dulaisme pendidikan
di Indonesia
Sejarah di Indonesia, membuktikan terwujudnya
komunitas haji, ulama, santri dan pedagang membuat anti terhadap imperialisme
Belanda, seperti yang dilansir Clifford, pertumbuhan pesantren yang anti
imperialism Belanda membangkitkan Santri Insureaction atau pemberontakan santri
seperti yang terjadi pada tahun 1820-1880 terjadi paling tidak lima kali
pemberontakan santri seperti perang Paderi ( 1821-1828), Perang Dipenogoro,
Perang Banjarmasin, Perang Aceh dan perang Banten dan masih banyak perang
lainnya dimotori oleh gerakan santri, kiayai, ulama yang berbasis Islam. Hal
ini menimbulkan kecurigaan Pemerintah Belanda terhadap Islam.[[51]]
Sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh
Belanda di Indonesia.Sekolah yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan
Belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan Belanda
(1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR).Hal tersebut
nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda
negeri Belanda.
Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk
kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas di tanah
jajahannya).Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah
kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS
adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School
(1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya
UI.Juga disusul beberapa fakultas lainya.
Zakiah Darajat mengungkapkan pada masa pemerintahan
Belanda, pendidikan agama tidak diberikan di sekolah-sekolah negeri dengan
alasan pemerintah bersikap netral untuk tidak mencampuri masalah pendidikan
agama, karena pendidikan agama merupakan tanggung jawab keluarga, sehingga
setiap usulan wakil-wakil rakyat pribumi di Volksraad agar memasukan pelajaran
agama Islam di di Perguruan Umum selalu ditolaknya, yang dibolehkan hanya di
sekolah-sekolah partikulir (swasta) yang berdasarkan keagamaan.[[52]]
Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol
yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk
menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam, dengan
membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama
dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.
Ordonansi
guru dikenal pada masa pemerintah Belanda dengan mengeluarkan peraturan yang
dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi
Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Selain itu untuk lingkungan
kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat,
dan untuk menjaga sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka
pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. Seperti yang dinyatakan pada Indische
Staatsregeling bahwa pendidikan umum adalah netral, yang berarti pengajaran
diberikan dengan menghormati keyakinan masing-masing. Namun
disekolah umum untuk kalangan pribumi, pada HIS dan MULO diberikan pelajaran
agama Islam, secara sukarela sekali dalam seminggu bagi murid-murid yang
berminat atas persetujuan orang tuanya.
Pemerintah
Belanda sendiri yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan
bagi pribumi, membentuk dua lembaga, yaitu Departemen van Onderwijst en
Eerendinst untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum dan Departemen van
Binnenlandsche Zaken untuk pendidikan Islam dilembaga pendidikan Islam.Kebijakan pemerintah kolonial yang memarjinalkan
aspirasi dan kepentingan kalangan muslim menjadi cikal bakal terciptanya
dualitas pengaturan negara terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan
kepentingan kalangan muslim.
Dalam konteks Indonesia, dikotomi dimulai semenjak
Indonesia mengenal sistem pendidikan modern. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia
berada di bawah Depag (Departemen Agama). Sementara ilmu-ilmu umum (sekuler)
berada di bawah Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional). Repotnya hal ini
sangat berpengaruh pada fasilitas dan anggaran dana. Kalau kita perhatikan APBN
2006, misalnya, ternyata yang terakhir ini anggarannya relatif lebih subur (Rp.
36.755,9 milyar) daripada yang pertama (hanyasebesar Rp. 9.720,9 milyar:
berbanding 79,1% : 21,9%.
Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama
yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak
dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya
masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum), pada
tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem
pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri
Agama.[[53]] Menurut
pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi
oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan,
memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang
dapat dikontrol oleh pemerintah.
Pada tahun
1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang
kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.Ternyata keputusan ini mendapat
tantangan keras dari kalangan Islam. Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan
nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi
dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh
Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap
berada di bawah Departemen Agama.
Bahkan sebagian umat Islam
memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan
dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai
langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari
upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan
dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah
Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam
melalui pengebirian partai politik Islam.
Setelah Indonesia merdeka, para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari
betapa pentingnya pendidikan agama.Kihajar Dewantoro selaku Menteri pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan pada kabinet pertama menyatakan pendidikan agama
perlu diajarkan di sekoklah-sekolah negeri. Kemudian pada 3 Januari 1946
didirikanlah Kementerian Agama yang bertugas beberapa diantaranya melaksanakan
kewajiban-kewajibannya antara lain urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam
dan Kristen, mengangkat guru agama dan mengadakan pengawasan pelajaran agama.[54]
Ilmu-ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar kepada hukum alam
(natural laws=sunnatullah) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya.
Hukum alam dan wahyu berasal dari Tuhan, maka antara keduanya tidak mungkin
bertentangan dan ilmu pengetahuan mesti sesuai dengan Islam.Islam di masa
lampau mengalami kemajuan yang disebabkan oleh salah satunya yaitu kemajuan
ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu,maka untuk mencapai kemajuan
yang hilang umat Islam harus kembali mempelajari dan mementingkan ilmu
pengetahuan.[[55]]
Untuk merealisasikan hasil di bidang pendidikan agama, maka diterbitkan
peraturan Bersama Menteri PP&K dan Menteri Agama No. 1142/Bhg A ( Pengajaran)/No.1285/KJ
Agama tanggal 2-12-1946 yang menentukan pelajaran agama di Sekolah Rakyat sejak
kelas IV dan mulai berlaku 1-1-1947. Kemudian lahir UU.No. 4 /1950
Jo.No.12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Salah
satunya pasal 20 Bab 12 yang menyatakan bahwa dalam sekolah-sekolah negeri
diadakan pelajaran, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti
pelajaran tersebut.[[56]]
Pelajaran agama kemudian ditetapkan dengan TAP MPRS No.II/MPRS/1960 dengan
menjadikan pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah sejak Sekolah
Dasar (SD) sampai dengan Universitas Negeri hingga saat ini.[[57]]
Abuddin Nata membagi kebijakan pemerintahan Indonesia secara umum dalam
bidang pendidikan ke dalam empat periode sebagai berikut:
Pertama, masa pra kemerdekaan, yaitu masa penjajah Belanda yang menerapkan
diskriminatif terhadap rakyat jajahannya dan termasuk pelit dalam memberikan
pendidikan bagi rakyatnya.Belanda membiarkan kebodohan agar mudah ditindas,
dijajah dan diadudomba. Kemudian sedikit ada perubahan setelah ada tekanan
internasional yang dikenal dengan politik etis, salah satunya menyedikan
pendidikan kepada rakyat secara terbatas dalam rangka mempersiapkan tenaga
kerja yang dipekerjakan di beberapa perusahaan milik Belanda.[[58]]
Belanda tidak suka terhadap keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di
Pesantren, madrasah dan sebagainya karena dianggap sebagai sarang pemberontak,
dan pembangkang yang dikenal sebagai konsep jihad dan menganggap Belanda
sebagai orang kafir yang harus diperangi, sehingga umat Islam bersikap
non-kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda.[[59]]
Kedua, masa pasca kemerdekaan yang dikenal masa orde lama. Pada masa ini
terjadi upaya pembaharuan dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih
bermutu sejalan dengan tuntutan zaman, namun suhu politik pada saat itu sedang
mengalami pancaroba dan mencari bentuknya.[[60]]
Ketiga, masa Orde Baru,pendidikan pada masa ini bersifat
sentralistik,refresif dandepolitisasi masyarakat yang harus berorientasi kepada
loyalitas terhadap pemerintahan. Anggaran alokasi untuk pendidikan sangat minim
bila dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainnya yang tidak pernah
mencapai 10% dari APBN.[[61]]
Keempat masa orde reformasi, dimana semakin berkembangnya wacana demokrasi,
sehingga menghasiulkan Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional.[[62]]
Kondisi demikian pada akhirnya pemerintah terlibat untuk menyelesaikan
persoalan ini dengan mengembangkan beberapa madrasah menjadi madrasah
negeri.Alasannya ialah karena situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah
berubah.Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam
secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya
terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang
sudah berubah.Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan
memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan
Departemen Agama merupakan keharusan sejarah, maka tidak demikian halnya di
waktu sekarang.
Ada dua ancaman dari dulaisme pendidikan yang harus diwaspadai menurut
Ahmad Tafsir, pertama, subjek-subjek baru yang diambil dari sekolah modern akan
mengambil waktu yang lebih lama dalam kurikulum yang akan mengurangi
subjek-subjek esensial mengakibatkan semangat keislaman semakin melemah, kedua
kekurangwaspadaan menyebabkan masuknya sekularisme ke dalam pemikiran Islam.
Agama dibatasi dalam beberapa jam pelajaran agama yang pada akhirnya akan
mengeluarkan agama dari aspek-aspek tertentu kehidupan manusia terutama sains.[[63]]
E. Dampak akibat dari dikotomi dan dualisme pendidikan
di Indonesia
Zakiah Darajat menuliskan dengan gamblang tentang tragedy dunia modern yang
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir manusia modern
antara lain kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis dan egois,
persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil yang disebabkan akibat
perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan cepat tetapi tidak disertai oleh
agama yang pada akhirnya membawa lengahnya orang kepada kepercayaan agama yang
dahulu dijadikan sebagai pengendali tingkah laku dan sikap dalam hidup, logika
dan cara-cara ilmiah menonjol, sedangkan segi-segi perasaan dan emosi kurang
mendapat perhatian bahkan tidak dihiraukan sama sekali.[[64]]
Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama.Dari
gambaran di atas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada
teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim sosial budaya dan politik
ikut berperan.Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui
pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah
mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan
kehidupan itu sendiri.
Dengan munculnya dikotomi (dulaisme) pendidikan merupakan pukulan besar
yang sudah lama menghinggapi pendidikan di Indonesia, sehingga hal ini
mempunyai dampak negatif yaitu:
1. Anti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek
teologi Islam yang diajarkan disekolah-sekolah agama selama ini.
2. Sekolah agama telah terkotak dalam kubu tersendiri
3. Sumber masukan sekolah agama dan perguruan tinggi Agama Islam rata-rata
ber IQ rendah, maka mutu tamatannya adalah tergolong kelas dua.
4. Kegiatan keagamaan dan api keislaman di IAIN dan perguruan Agama Islam
kurang menonjol dan kurang dirasakan dibandingkan dengan perguruan tinggi
umum.[[65]]
Adanya dikotomi dalam pendidikan yakni ilmu umum dan ilmu agama dengan
memotong hubungan kedua ilmu tersebut, itulah yang diakomodir undang-undang
Pendidikan, melihat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang
berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan”. Dari pasal tersebut tampak jelas terjadinya
dikotomi dalam pendidikan agama dan pendidikan umum, di tingkat kelembagaan pun
dipisahkan antara perguruan tinggi agama seperti UIN Syarif Hidayatullah dan
perguruan tinggi umum seperti ITB, UI dan lain-lain.
Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola
oleh Departemen Agama, sedangkan pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah
menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan
Islam secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang Islamolog, tetapi
pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang
Islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist.
Diantara beberapa fakta yang diakibatkan hasil pendidikan Indonesia
berdasarkan beberapa penelitian sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa
sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara
yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik,
disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia
menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
2.Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba
di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak.
Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan
SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah
peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba.Pada tahun 2003, jumlahnya baru
mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat
tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com).Selain itu, kalangan
pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota
Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang
Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi
Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori
pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %,
pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com).
3. Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai
diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain
ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan
(LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE),
Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia
(FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung
(FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum
(LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia
Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang
Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
4. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
5.Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan
angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama
pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri.Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja
ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan
yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009
diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
6. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya
menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu
tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina , Thailand ,
Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh
tertinggal.( Kompas 4/9/2004).
7. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata
anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak
diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan
rumah (Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia,
Irwin Day. 25 Juli 2008. Media Indonesia)
F. Solusi dalam menangani dikotomi dan dulaisme
pendidikan di Indonesia
Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu
pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana
telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk
“mengislamkan”nya yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari
Islam. Lebih lanjut persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi
pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam
yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan
keterkaiatan yang serius kepada Islam .[[66]].
A.Syafi’i Ma’arif mengatakan bila konsep dulaisme dikotomik berhasil
ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan
berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan
tinggi.[[67]]
Menurut Ramayulis, solusi mengurangi atau mentiadakan dikotomi dalam
pendidikan dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang mendasari
pendidikan Islam yaitu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi,
keseimbangan antara jasmani dan rohani serta keseimbangan antara individu dan
masyarakat.[[68]]
Menurut Kamal Muhamad Isa, kesalahan utama manusia yang selama ini
berlangsung terus menerus adalah adanya pemisahan antara ilmu dan agama, bahkan
agama dianggap sebagai musuh ilmu, penghalang ilmu, atau paling banter hanya
dianggap sebagai pengganti ilmu. Padahal agama merupakan kerangka dasar dari
setiap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, yang menjadi sumber bagi pertumbuhan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri. Agama merupakan satu-satu dasar
dan sumber yang mengatur seluruh permasalahan kehidupan manusia. Orang yang
belajar al-Quran dengan cermat dan teliti akan menemukan sebagian ayatnya yang
disebut berbagai fakta dan peristiwa sebagai muqaddimah yang kemudian sampai
kepada Allah sebagai suatu keputusan yang disebut ilmu teory, sementara
ayat-ayat yang menyatakan kehidupan merupakan topik dari ilmu pengetahuan
dinamakan ilmu praktis.[[69]]
Solusi berikutnya adalah peintegrasian ilmu, sebelumnya marila kita
melihat dalam Al-quran kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854
kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahsa berarti kejelasan, karena itu segala
yang berbentuk dari akar katanya mempunyai arti kejelasan.Perhatikan misalnya
kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung),
‘alamat (alamat), dan sebagainya.Ilmu adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa
(mengetahui), a’rif (yang maha mengetahui) , dan ma’rifah
(pengetahuan).[[70]]
Sehingga wajarlah Islam sebagai agama yang rahmat untuk seluruh alam tidak
pernah membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Persoalan, pengategorian kelompok ilmu umum, dan ilmu dalam Islam umumnya
muncul lebih dodorong atas kepentingan politik.Hal ini terlihat menonjol dengan
kemunculan alasan akumulasi kuantitatif wilayah; dan filsafat lebih banyak
dipelajari di Negara-negara barat dan agama dipelajari di Negara-negara timur,
maka pertentangan ini menjadi pertentangan dua kelompok ilmu dengan istilah
“Barat” dan “Timur”. Dalam pandangan Islam, bukan berarti “Barat” kedudukannya
lebih tinggi dari “Timur” atau sebaliknya.[[71]]
Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni dengan
melebur dua sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem
pendidikan yang berwawasan Islam.Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem
dikotomi sistem pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat.Ide
”Islamisasi Ilmu” dalam pendidikan Islam berisikan suatu prinsip; bahwa keilmuan
Barat tidak harus ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses
filterisasi yang disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan
dengan pesan al-Quran dan al-Hadits.[[72]]
Peran islamisasi ilmu dalam pemecahan problem dikotomi pendidikan
islamadalah spirit yang ditawarkan al-Faruqi dalam rangka memecahkan problem
dikotomi pendidikan Islam adalah Islamisasi Ilmu dalam pendidikan Islam.
Menurut al-Faruqi, para akademikus muslim harus menguasai semua disiplin ilmu
modern, memahami disiplin tersebut dengan sempurna, dan merasakan itu sebagai
perintah agama. Setelah itu mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru
tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan,
penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world
view Islam dan menetapkan nilai-nilainya.[[73]]
Harus diakui bahwa di era sekarang keilmuan Islam tertinggal jauh dari
Barat. Menolak keilmuan yang datang dari Barat jelas mengalienasi diri dari
perkembangan zaman dan tidak realistis, dan itu akan semakin membuat umat Islam
tertinggal. Sementara menerima keilmuan Barat yang cenderung sekular secara
penuh dikhawatirkan akan menggerogoti ajaran keislaman yang penuh dengan normativitas.
Dengan begitu, tiba saatnya bagi para cendekiawan Muslim meninggalkan
metode-metode asal tiru yang berbahaya dalam reformasi pendidikan. Menurut
al-Faruqi, reformasi ke arah modernisasi pendidikan Islam hendaklah Islamisasi
pengetahuan modern itu sendiri.[[74]]
Jadi tugas umat Islam adalah sama, meski dengan jangkauan yang luas, dibanding
yang dilakukan para leluhur umat yang mencernakan pengetahuan pada zaman mereka
dan menghasilkan warisan Islam berupa kultur dan peradaban. Setiap disipilin
sains sastra, sosial, dan ilmu alam, harus disusun dan dibangun ulang,
diberikan dasar Islam, dan diberikan tujuan baru yang konsisten dengan Islam.
Setiap disiplin ilmu harus dituang kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam di dalam metodologi, strategi, data, problem, tujuan dan
aspirasinya.Setiap disiplin ilmu harus ditempa ulang sehingga mengungkapkan
relevansi Islam dengan tiga sumbu Tauhid.Sumbu pertama adalah kesatuan
pengetahuan.Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus
mencari nilai objektif yang rasional, yakni pengetahuan kritis mengenai
kebenaran.Dengan demikian tidak ada lagi dikotomi keilmuan; aqli dan naqli
atau ilmiah dan dogma.
Sumbu kedua adalah kesatuan hidup.Berdasarkan kesatuan hidup ini
segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan
demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang
disiplin lain bebas nilai atau netral. Sumbu ketiga adalah kesatuan sejarah.
Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat ummatis
atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengambil tujuan
umat di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan
dalam sains yang bersifat individual dan sains yang bersifat sosial, sehingga
setiap disiplin tersebut bersifat humanistis dan ummatis.[[75]]
Usaha pendidikan Islam menurut Dr. Kamal Muhammad Isa seyogyannya
menargetkan hasil pendidikan yang akan didapat oleh para siswanya sebagai
berikut:
a. Siswa meyakini konsep ilahi sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terpilah-pilah
atau terkotak-kotak yang merupakan sebuah sistem rabbabi yang sempurna.
b. Siswa harus mampu meyakini bahwa syariat Islam itu selalu berkaitan
dengan naluri manusia.
c. Siswa harus memiliki basis iman dalam alam pemikiran dan perasaannya,
dengan persepsi dasar yang benar dalam menafsirkan hakikat alam, hubungan
dengan penciptanya, serta posisi manusia di dalamnya.
d. Siswa harus memiliki rasa bangga kepada agamanya.
e. Hati dan jiwa para siswa harus saling bertaut dan terikat dengan
Khaliqnya.
f. Para siswa memiliki disiplin yang tinggi dalam menjalani etika riset
ilmiah dalam Islam.
g. Mengaitkan jiwa dan hati para siswa dengan kitabullah.[76]
Solusi dari masalah manajemen pendidikan menurut Hujair AH Sanaky dengan
menawarkan perubahan manajemen pendidikan ke arah, pertama desentralisasi
pengelolaan pendidikan Islam adanya perubahan paradigma dari orientasimanajemen
pemerintahan yang sarwa negara (state driven) menjadi berorientasi ke pasar,
perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian
menjadi berorientasi pada demokrasi, perubahan paradigma dari sentralisasi
menjadi desentralisasi kewenangan, manajemen pemerintahan yang cenderung
dipengaruhi oleh tata aturan global menjadi kebijakan dan aturan pemerintah
harus mengakomodasi tata aturan global.
Kedua, manajemen berbasis sekolah, apakah pendidikan Islam dapat menerapkan
manajemen berbasis sekolah? Menurut Hujair AH Sanaky karenapendidikan Islam
sebagai sub sistem pendidikan nasional maka harus menerapkan sistem ini meski
ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penerapannya yaitu kewajiban
sekolah, kebijakan dan priotitas pemerintah, partisipasi masyarakat dan orang
tua, peranan profesionalisme dan manajerial serta pengembangan profesi. Ketiga
manajemen pendidikan tinggi adalah menekankan kemandirian lebih besar dalam
pengelolaan atau otonomi, untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan manajemen
perguruan tinggi Islam yang baik perlu memperhatikan kualitas, otonomi,
akuntabilitas (pertanggungjawaban), evaluasi dan akreditasi.[[77]]
Problematika juga ada pada sumber daya pendidikan Islam, dengan rendahnya
kualitas tenaga kependidikan padahal dituntut memiliki sumber daya pendidikan
yang berkualitas dan profesional maka yang harus dilakukan oleh pendidikan
Islam adalah adanya program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa
training for trainers .[[78]]
Aktualisasi pendidikan Islam dalam masyarakat madani di Indonesia, pada
bagian ini Hujair AH Sanaky pembahasannya lebih difokuskan pada empat hal,
pertama upaya pendidikan Islam bagi pemberdayaan manusia (proses humanisasi)
dan masyarakat unggual, kedua upaya demokratisasi pendidikan Islam, ketiga
model-model pendidikan Islam alternative dan keempat peran pendidikan Islam
dalam masyarakat madani Indonesia pendidikan merupakan proses humanisasi,
merupakan proses yang terbuka dimana manusia diberdayakan dan dioptimalkan
potensi (fitrah) bawaannya maka dibutuhkan konsep pendidikan yang dapat memberi
gambaran yang komprehensif dengan menekankan keharmonisan hubungan baik sesama
manusia, masyarakat maupun lingkugan yang didasarkan pada nilainilai normatif
illahiyah.
III. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa pengdikotomian pendidikan di
Indonesia terjadi disebabkan oleh banyak hal.Pertama, dikotomi ini
merupakan warisan zaman koloni, yaitu para penjajah memberikan kebebasan dalam
beragama, tapi mereka setengah-setengah memberikan kebebasan.hal ini terbukti
misalnya pemberian kebebasan menempuh pendidikan hanya dibatasi pada anak
bangsawan. Kedua, Setelah kemerdekaan, dulaisme yang diwariskan
pemerintah kolonial Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan kita.
Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang
menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola
sekolah tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri di kutub yang berbeda
dengan sekolah Umum. Ketiga, kondisi riil dalam Negara kita, yakni
adanya persoalan politis antara para pemegang kekuasaan.
Maka solusi yang harus dilakukan dalam menghilangkan dikotomi dan dulaisme
pendidikan di Indonesia sebagai berikut:
1. Pemahaman atau paradigma masyarakat tentang pemisahan “ilmu-ilmu agama”
(al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu
umum” (general sciences) dapat dipatahkan dengan cara bahwa pemisahan
(pengdikotomian ini) hanyalah sebuah wujud “historical accidetn
(kesalahan sejarah)” proses ideologisasi penyebaran keislaman. Dalam dataran
koseptual kita hanya dapat mengatakan; inti dari persoalan pensakralan cabang
ilmu ini berkaitan erat dengan persoalan politik.
2. Pemerintah dalam hal ini memegang puncak “kekuasaan” mampu menghasilkan
pendidikan yang mensinergikan dua ilmu ini.
3. UIN dalam hal ini pendidikan yang berlabelkan Islam, mampu menjawab
tantangan zaman, yang selama ini mempunyai keinginan keras dalam mengintegrasi
dua keilmuan ini.
4. Para ahli (praktisi) pendidikan mampu mencontohi atau setidaknya
menjadikan pelajaran bahwa intelektual-intelektual muslim terdahulu sebut saja
misalnya asy- Syafi’I yang mampu mensinergikan ilmu ushul fiqh dan filsafat
Aristoteles dan masih banyak pemikir-pemikir muslim lainnya yang menorehkan
sejarah kebangkitan.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah tentang dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia
dengan berbagai keterbatasan referensi yang ditemui dan keterbatasan kemampuan
analisa pemakalah. Tataran konsep dikotomi akan menimbulkan dulaisme pendidikan
pada tataran praksis yang pada berikutnya akan menimbulkan keterpurukan hasil
dalam pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Hamid, dkk, Pemikiran Modern Dalam Islam,
Bandung, Pustaka Setia, 2010, cet-1.
Al-Attas, Syed Muhammadal-Naquib, 1994. Konsep
Pendidikan Dalam Islam Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Mizan
Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku
Pendidikan Islam Integratif (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
karangan Jasa Ungguh Muliawan,
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi kelemahan
pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prebada Media Group, 2008,
Cet-3.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pemikiran tentang
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,Yogyakarta, 1991.
——– Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate
Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar,
1997.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 2007, cet-7
Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah
Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di
Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991),
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan pemikiran antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga,
2006),
A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat
Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya
Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal,
31 Agustus s/d 1 September 1995.
Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai
Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta, 1996.
————,Pendidikan Islam tradisi dan modernisasimenuju
millennium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.1999.
————, Paradigma Baru Pendidikan Nasional,
Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006)
Amin, Abdullah,Menyatukan kembali Ilmu-ilmu Agama
dan Umum. Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga,2003.
Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat
BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006)
Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia
dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,
Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Dulaisme”, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan,
J-Art,2004
Departemen Agama RI, Dirjen Pendis, Rencana
Strategis Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Tahun 2007-2010.
E.Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), Sebuah Panduan Praktis, (Bandung : Rosdakarya 2008)
Fazlur Rahman, Islam and Modernity,
Transformation of an Intellectual Tradition,The University of Chicago,
Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003,
HM.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis
dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara,
2009, cet-4
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000),
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge :
General Principles and Workplan Hemdon : HIT, 1982),
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif:
Upaya Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Cet. I:
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992)
Jalaludin & Usman Said. Filsafat Pendidikan
Islam, cet. III. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999
Mastuhu.,Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004
M. Shofan. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta:
Ircisod-UMG Press. 2004
M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya
Pembebasan Manusia, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan
Fakta, editor, Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet.1, 1991.
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Marwan Saridjo, Bunga Rampa Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Amissco, 1996)
Kamal Muhammad Isa, Manajemen Pendidikan Islam,
terjemah dari Khashaish Madrasatin Nubuwawah, Jakarta, Fikahati Aneska, 1994,
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif
(Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2008)
Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia
Antara Citadan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009)
Nasir, Ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan
IdialPondok Pesantren di Tengak Arus Perubahan. Yogyakarta: PustakaPelajar,
2005
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I
atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet. XVII: Bandung: Mizan, 2007
Rusydi; Wacana dikotomi llmu dalam Pendidikan Islam
dan pengaruhnya (2009)
Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam
Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija,
Yogyakarta, 1991.
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku :Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.
Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis
Muslim Educatio“., Terj.Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah,
Bandung, 1986.
Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam:
Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press,
2003
Sumarsono Mestoko, PendidikanIndonesia dari Jaman
ke Jaman, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1979
Suwito, Fauzan, Perkembangan Pendidikan Islam di
Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M, (Bandung:
Angkasa: 2004)
Syafi’i Ma’arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi
Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, 1997.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang
Pendidikan (Dirjen Pendidikan Islam
Departemen Agama RI, 2006)
Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005)
UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan Press, 2005), hlm. 91-91
Zakiah
Darajat, dalam buku “Peran Agama dalam Kesehatan Mental”, Jakarta, Gunung
Agung, 1996,
Zakiah
Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, cet-2.
Zakiah
Darajat, Kesehatan Mental, Jakarta, Gunung Agung, 1996, cet-23.
http://Klub
Guru Indonesia e-journal ilmiah “Ki Supriyoko tentang “pembunuhan sekolah
swasta”
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/10/dikbud/diko09.htm
http://edukasi.kompas.com/read/xml/209/01/17/17191283/
[6]Baca Media Indonesia 25 Juli 2008, tentang kajian
Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia, Irwin.
[7]John M. Echols dan Hassan Shadily, “dichotomy”, Kamus
Inggris-Indonesia (Jakarta :PT. Gramedia Utama, 1992), h. 180.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “dikotomi”, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 205.
[9] Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah
Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di
Indonesia Antara Cita dan Fakta(Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104.
[10]Isma’il Raji a!-Faruqi, Islamization of Knowledge :
General Principles andWorkplan Hemdon : HIT, 1982), h. 37.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I
atas pelbagai persoalan umat, Bandung, Mizan, 1996, h. 434-447.
[13]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah
Pemikiran san Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, cet-14, hlm.58.
[16]HM.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 2009,
cet-4, hlm.33
[19]Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku
Pendidikan Islam Integratif (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
karangan Jasa Ungguh Muliawan, h. vii.
[21]Azyumarid Azra, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional,Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta, Kompas, 2006, h. 110.
[23]Hal ini dapat kita lihat misalnya pembakuan cara-car
berpikir dalam fiqh lahir dalm situasi ketegangan antara pendukung hadis (naql)
dan ra’y (‘aql, rasio). Baca selengkapnya penjelasan Ahmad Baso, NU
Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme
Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006), h.135.
[27]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 2007, cet-7. Hlm.68.
[28]Al-Attas, Syed Muhammadal-Naquib, 1994. Konsep
Pendidikan Dalam Islam Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Mizan.hlm.41
[31]Azyurmardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional: rekonstruksi dan Demokratisasi (Cet. I: Jakarta: Buku Kompas,
2002), h. 101.
[32]Baca selengkapnya Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan
Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan
Islam (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 206-208.
[34]Pada sekitar pertengahan decade tahun 1970-an,
perhatian pemerintah mulai ditujukan pada pembinaan madrasah secara lebih
sistematis, misalnya, dengan lahirnya kurikulum 1973 dan SKB 3 Menteri pada 24
Maret 1975 yang mengaskan bahwa kedudukan madrasah sejajar dengan sekolah
formal dapat dilihat selengkapnya. Baca selengkapnya, Mahmud Arif, Pendidikan
Islam Transformatif (Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2008), h. 205.
[35]Baca selengkapnya mengenai epistemologi dalam Islam
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif……op. cit., h. 27-101.
[36]Baca selengkapnya .Abd. Rahman Assegaf, Pengantar
dalam buku Pendidikan Islam Integratif…….op. cit., h. vii-ix.
[37]Ibid., h. ix dan hal senada disampaikan Azyumardi Azra, Rekonstruksi
Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas
Iptek, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yoyakarta dan
Pustaka Pelajar, 1998), h. 87. serta Azyumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan…., op. cit., h. 115.
[39]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 94., Hal senada
disebutkan pula Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan…., op. cit., h.
115. dan lihat pula Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam…., op. cit., h.
206.
[44]Isma’il Raji a!-Faruqi, Islamization of Knowledge :
General Principles andWorkplan Hemdon : HIT, 1982),Op.Cit.,40-41
[50]Jalaludin & Usman Said. Filsafat Pendidikan
Islam, cet. III. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999. 160
[51]Baca buku Abdulah Hamid, Pemikiran Modern dalam Islam,
Bandung, Pustaka Setia,2010 Cet-1. Hlm 289-305 yang menjelaskan tentang
kronologis terjadinya kecurigaan Belanda terhadap pesantren di Indonesia,
karena dalam ajaran Islam pemerintahan Belanda merupakan pemerintahan kafir
yang harus dilawan dengan jihad, sehingga Belanda mempelajari dengan serius
seluk beluk Islam di Indonesia yang melahirkan Dutch Islamic Policy yang lebih
dikenal Politik Islam Hindia Belanda dengan Tokoh Utamanya Snouck
Hurgronje.Hasil analisis Snouck Hurgronje Islam di Indonesia terbagi kepada dua
bagian besar yaitu Islam sebagai religius yang menyarankan kepada pemerintah agar
berlaku toleran agar tercipta ketenangan dan stabilitas, dan Islam sebagai
politik yang harus dicurigai dan diawasi secara teliti darimana datangnya,
terutama yang dipengaruhi pan Islami. Beberapa taktik Pemerintah Belanda dalam
memadamkan pergerakan dan perlawanan santri muslim Indonesia antara lain:
depolitatsi ulama dan santri, merusak teologi dan ideology masyarakat petani
dengan tanam paksa, mencegah asimilasi pribumi-china, mencegah Islam –priyayi,
memperalat komunisme, dan ordonasi guru.Penerbitan
Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat
izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat
mengajar di Lembaga-lembaga pendidikan. Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru
itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat
izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu
saja.Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan
Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam,
Al-Irsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain.Pada tahun-tahun itu memang sudah
terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kebangkitan pribumi.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam pada saat itu sudah banyak berkembang,
pemerintah Belanda mengadakan control secara ketat dan segera mendirikan
lembaga pendidikan bagi Indonesia terutama kalangan bangsawan/ ningrat yang
dikenal sekolah bumi putera dengan tujuan utama mendambakan kesatuan Indonesia
dan Belanda dalam satu ikatan Pax Neerlandica yang mengajarkan pendidikan
modern dengan tujuan mengurangi dan mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia.
[53] Lihat undang-undang No.4 tahunn 1954 yang
diberlakukan dengan Undang-undang No.12 tahun 1954 untuk menjalankan
undang-undang pendidikan dasar dan pengajaran.
[55]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003, hlm.56
[58] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi
kelemahan pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana Prebada Media Group,
2008, Cet-3. Hlm. 9
[63]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 2007, cet-7. Hlm.68.
[64]Lihat penjelasan Zakiah Darajat, dalam buku “Peran
Agama dalam Kesehatan Mental”, Jakarta, Gunung Agung, 1996, lebih rinci
dijelaskan bahwa pengetahuan tanpa agama membahayakan, harta tanpa agama
menyengsarakan, kedudukan tanpa agama menggelisahkan dan jiwa manusia
membutuhkan agama. Kemudian ia menjelaskan fungsi agama dalam kehidupan sebagai
bimbingan dalam hidup,penolong dalam kesukaran, dapat menenteramkan batin, pengendali
moral, sebagai terapi terhadap gangguan kejiwaan dan sebagai psikoterapi dalam
pembinaan mental.
[66]Fazlur Rahman,Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual
Tradition, The University of Chicago, Chicagi, 1982, Terj. Ahsin Mohammad,
Pustaka 1985.h.160.
[67] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor:
Muslih Usa, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991, h. 150
[69]Kamal Muhammad Isa, Manajemen Pendidikan Islam, terjemah dari Khashaish
Madrasatin Nubuwawah, Jakarta, Fikahati Aneska, 1994, h. 30-31.
[70]Baca selengkapnya M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I
atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet. XVII: Bandung: Mizan, 2007), h.
434-435.
[71]Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam…., op. cit., h. 211., Baca
pula penjelasan yang baik mengenai dikotomi Ilmu hanya disebabkan persoalan
(kepentingan) politik dalam Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan…., op.
cit., h. 104.
[72]Bandingkan dengan Muhammad Fahmi.Konsep Pendidikan Isma’il Raji
Al-Faruqi: Relevansinya bagi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Tesis. Yogyakarta:
Fakultas Filsafat UGM. 2006.14
[77]Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat
Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003. H. 207-225
Tidak ada komentar:
Posting Komentar