PENDAHULUAN
Perdebatan
tentang boleh tidaknya musik dalam Islam telah berlangsung lama. Secara
teologis perdebatan-perdebatan tersebut lebih banyak didasarkan atas
hadis-hadis tertentu, yang bilangannya tidak cukup besar. Padahal tidak kalah
besar pula bilangan hadis yang membolehkan penggunaan musik dan seni suara,
baik dalam rangka syiar Islam maupun dalam rangka perkembangan kebudayaan
Islam.
Di tengah
pertentangan dan perdebatan itu pula muncul kecenderungan ekstrim, dalam arti
langsung menetapkan halal dan haramnya seni dalam Islam, termasuk musik dan
seni suara. Berkaitan dengan sikap seperti itu, tidak sedikit orang lupa bahwa
hukum Islam tidak hanya bergerak di antara dua pendulum yang saling berlawanan
tersebut, yaitu halal dan haram. Di antara keduanya terdapat sunnah, mubah dan
makruh.
Kecuali itu
ada kecenderungan yang umum dalam masyarakat, yaitu sangkaan bahwa yang disebut
‘seni’ itu ialah musik dan lagu-lagu hiburan, serta seni popular lainnya.
Karena ketiadaan pengetahuan tentang seni dan estetika serta sejarah seni,
khususnya sejarah seni Islam, maka apabila berbicara tentang seni Islam yang
lazim dijadikan titik tolak ialah pengalaman dan pengetahuannya yang terbatas
itu. Mereka lupa bahwa khazanah seni Islam — kesusastraan, seni rupa, arsitektur,
seni musik dan seni suaranya, serta ragam estetikanya – sedemikian kaya.
Karangan ini
ditulis dengan tujuan memberikan apresiasi tentang seni musik dan suara dalam
peradaban Islam. Sebelum membicarakan perdebatan berkenaan dengan boleh
tidaknya musik dalam Islam, akan dikemukakan dulu bahwa pertentangan atau
perdebatan yang timbul selama ini tidak menyangkut persoalan intrinsik musik
itu sendiri. Melainkan berkenaan dengan pengertian tentang musik, sebagai seni
atau sekadar ungkapan kesedihan dan hura-hura.
Dalam sejarah
Islam, untuk menyebut musik seperti yang diartikan sekarang ini, digunakan
perkataan handasah al-sawt yang artinya ialah seni suara atau nyanyian.
Sedangkan istilah al-musiqa (musik) digunakan untuk menyebut segala jenis musik
bersifat hiburan (entertainment, pelipur lara). Sedangkan lagu atau nyanyian
hiburan lazim disebut al-ghina’.
Yang terakhir
ini secara umum merujuk pada musik atau nyanyian profan, yang tidak punya
kaitan langsung dengan kehidupan keagamaan. Bahkan pada masa awal digunakan
untuk menyebut nyanyian yang diiringi musik untuk memanggil jin atau roh halus
sebagaimana dilakukan ahli-ahli sihir Arab jahiliyah atau dukun-dukun Yahudi
yang disebut kahin. Misalnya seperti dilakukan orang-orang Arab Utara sebelum
datangnya Islam, dalam upacara mengelilingi batu suci (nushb) yang dimeriahkan
dengan nyanyian keagamaan yang disebut nashb (Farmer 1988).
Tradisi yang
berkaitan dengan penggunaan musik dan nyanyian dlam upacara memanggil jin atau
kekuatan gaib dapat dibaca dalam kitab `Iqd al-farid (abad ke-10 M). Di situ
dikisahkan juga bagaimana Nabi Daud a.s. memainkan mi’zaf, alat musik sejenis
harpa, untuk menyaingi kemahiran dukun-dukun Yahudi dalam memanggil setan
melalui musik dan nyanyian. Berdasarkan cerita ini maka sampai sekarang seorang
pemain musik disebut `azzaf.
A.
Musik dan Handasah
Ismail dan
Lois Lamnya al-Faruqi (1992:463-501) mengatakan bahwa musik yang diterima dalam
Islam, yang disebut handasah al-sawt (selanjutnya ‘handasah’ saja) ialah seni
yang dipandang sebagai pernyataan estetik yang bersumber dari tradisi Islam,
yang kaidah dan pelaksanaannya berakar dalam estetika al-Qur’an atau seruan
al-Qur’an.
Secara
sosiologis, seni yang diterima dalam istiadat Islam ialah seni yang
mengakibatkan pelaku dan menikmatnya memandangnya dan mempergunakannya dengan
cara-cara unik dan khusus Islam. Ini berkenaan antara lain deengan cara-cara
penyajiannya. Seni suara dan bunyi digunakan dalam salat, upacara keagamaan dan
majlis-majlis di luar itu dapat dimasukkan ke dalam handasah. Misalnya bacaan
ayat suci dan doa dalam salat, seruan azan, takbir, tahmid, zikir, wirid,
tahlil, tilawah dan qira’a atau pembacaan ayat suci al-Qur’an yang dilagukan
seindah dan semerdu mungkin dan lain-lain.
Secara estetik pola nada dan lagu dari seni-seni
yang telah disebutkan ini bersumber dari pola musik dan nada ayat-ayat
al-Qur’an itu sendiri, begitu pula cara penyajiannya dimaksudkan untuk
menghidupkan suasana keagamaan.
Di luar
handasah semacam ini terdapat nyanyian yang tema syairnya bersifat keagamaan
seperti qasida, ghazal (di Iran), nefes dan sugul (Turki), muwashshah dini
(Maroko), nasyid dan marawis (Asia Tenggara) dan lain-lain. Atau handasah yang
perannya memberikan suasana keagamaan, misalnya inprovisasi bunyi atau
intrumentalia dan improvisasi vokal seperti taqasim, layali dan qasidah di
Turki, awaz di Iran, shakl di Afghanistan, sayil dan baqat di Indonesia dan
Malaysia. Secara umum handasah atau musik dan seni suara yang diterima dalam
Islam dapat dibagi menurut keperluan dan tatanan estetiknya sebagai berikut:
1. Jenis seni suara yang sepenuhnya tunduk pada estetika al-Qur’an
seperti tilawah, Qira’ah dan lain-lain. Karena berkaitan langsung dengan penyampaian
wahyu ilahi maka seni semacam ini menempati urutan pertama dalam kehidupan estetis
kaum Muslimin.
2. Urutan berikutnya ialah handasah yang berkitan dengan seruan
shalat dan ibadah seperti azan ; atau yang dimaksud sebagai bagian dari ibadah
seperti tahmid, takbir, zikir, wirid dan lain-lain. Puncak dari jenis handasah
seperti ini ialah sama’, konser keruhanian sufi yang dilengkapi dengan
orkestra, pembacaan puisi dan gerak tari tertentu. Pembacaan Kasidah Burdah,
Kasidah Barzanji, Rampai Maulid (di kalangan orang melayu) dan lain-lain, yang
dinyanyikan dengan indah dan sering disertai iringan musik, termasuk dalam
urutan ini sebab isinya adalah lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w dan
karenanya mengandung seruan ibadah. Dalam kenyataan pembacaan kasidah semacam
ini bermula dari kaum sufi dan memainkan peranan penting dalam penyebaran agama
Islam di Asia Barat, Asia Tengah,
India, Asia
Tenggara dan Afrika. Pembacaan Salawat Badar yang dinyanyikan dengan indah
termasuk pula didalamnya.
3. Urutan ketiga adalah seni Inprovisasi bunyi dari alat musik
tertentu
atau instrumentalia dan suara. Misalnya seperti dilakukan dalam sama’, atau pemukulan rebana dalam upacara keagamaan dan kemasyarakatan. Misalnya seni Rebana Biang dan banyak jenis seperti itu ditemukan dalam kehidupan masyarakat Muslim.
atau instrumentalia dan suara. Misalnya seperti dilakukan dalam sama’, atau pemukulan rebana dalam upacara keagamaan dan kemasyarakatan. Misalnya seni Rebana Biang dan banyak jenis seperti itu ditemukan dalam kehidupan masyarakat Muslim.
4. Lagu-lagu dengan tema keagamaan, perjuangan menegakkan
agama; lagu-lagu dengan tema falsafah atau tema keislaman secara umum. Tari Seudati yang heroik di Aceh, yang dahulunya disertai pembacaan Hikayat Perang Sabil, termasuk dalam jenis ini.
agama; lagu-lagu dengan tema falsafah atau tema keislaman secara umum. Tari Seudati yang heroik di Aceh, yang dahulunya disertai pembacaan Hikayat Perang Sabil, termasuk dalam jenis ini.
5. Musik atau nyanyian hiburan (al-ghina’) yang mengandung unsur
pendidikan dan tidak mendorong pendengarnya untuk melalaikan kewajiban agama.
pendidikan dan tidak mendorong pendengarnya untuk melalaikan kewajiban agama.
Melalui
penjelasan ini kita dapat memahami bahwa, walaupun terdapat sejumlah ulama yang
keberatan terhadap musik, akan tetapi musik dan seni suara ternyata berkembang
marak dalam sejarah kebudayaan Islam. Tepat seperti dikatakan Seyyed Hossein
Nasr (1993:165) bahwa yang diperlukan orang untuk menyadari pentingnya musik
dalam kehidupan orang Islam ialah hanya kesediaan mempelajari sejarah
kebudayaan dan sosial Islam. Pada masa pemerintahan Umayyah (654-750 M),
beberapa kota kaum Muslimin seperti Madinah dan Damaskus telah merupakan pusat
kegiatan seni musik yang penting di Asia Barat. Musik dan seni suara semakin
marak pada zaman Abbasiyah (750-1256 M) yang memerintah di Baghdad,
perkembangan yang diikuti pula di Andalusia pada masa yang sama.
Maraknya kegiatan musik di kalangan orang Islam di Barat maupun di Timur
dapat dilihat betapa dalam setiap perayaan keagamaan dan upacara kemasyarakatan
tidak pernah tidak disertai nyanyian dan musik. Pada bulan Ramadhan hampir di
seluruh negeri Islam terdapat kebiasaan membangunkan orang untuk bersahur
dengan menggunakan musik dan nyanyian. Sejak lama setiap pemberangkatan
tentara Islam menuju medan perang selalu diiringi bunyi-bunyian yang menggugah
keberanian. Salah satu musik militer yang terkenal di dunia adalah Mars Turki,
yang dicipta pada masa kekuasaan Bani Usmaniah abad ke-15 sampai 19 M.
Semua itu telah menjawab keraguan sebagian orang bahwa musik sukar
berkembang dalam Islam karena adanya semacam larangan. Dalam menjawab keraguan
itu pula Seyyed Hossein Nasr (1992:168) mengemukakan bahwa “Sebaiknya
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan musik dicari dalam tasawuf dan
falsafah; sebab persoalan tentang arti penting musik bukanlah persoalan hukum
atau fuiqih, melainkan berkenaan dengan psikologi dan keruhanian yang merupakan
lapangan pembahasan ahli tasawuf dan filosof.”
Di antara arti penting musik dalam kehidupan dikemukakan oleh Ruzbihan
al-Baqli dalam bukunya Risalat al-Quds. Menurut Ruzbihan al-Baqli musik
keruhanian mampu membantu jiwa mempertahankan kelangsungannya, sebab ia
merupakan makanan yang sehat bagi jiwa. Musik berperan menentramkan pikiran dan
membebaskannya dari beban dunia, serta memberi hiburan. Ia adalah perangsang
mata hati untuk menyaksikan rahasia ketuhanan. Bagi sementara orang, musik
merupakan godaan dan gangguan disebabkan ketidaksempurnaan jiwa mereka sendiri.
Sedangkan bagi orang lan, yang telah mencapai kesempurnaan jiwa, musik
merupakan perumpamaan dan tangga naik menuju alam malakut. Peranan penting
musik yang lain, menurut Ruzbihan, adalah tajarrud, membebaskan jiwa dari
hal-hal yang bersifat material melalui yang material itu sendiri, yaitu
menjadikan nada, irama dan bunyi yang berasal dari alam dunia.
B.
ANTARA MUBAH DAN HARAM
Telah dikemukakan bahwa keberatan sejumlah ulama terhadap musik yang
mengakibatnya timbulnya larangan dan pengharaman terhadap musik, didasarkan
pada beberapa hadis yang kurang lebih sama banyaknya dengan hadis yang
membolehkan penggunaan musik dalam kehidupan sosial dan keagamaan orang Islam.
Oleh karena itu persoalan boleh tidaknya musik dan bagaimana hukumnya dalam
Islam menjadi sangat pelik. Para cendekiawan atau ulama yang menganggap musik
sesungguhnya tidak dilarang secara hakiki dalam Islam, mendasarkan pandangannya
pertama-tama pada seruan al-Qur’an bahwa memperindah suara dan lagu dalam
menyampaikan ajaran kitab suci sangat dianjurkan.
Selain itu mereka beranggapan bahwa hadis-hadis yang berisi larangan
terhadap musik kebanyakan kurang sahih, dan beberapa lagi di antaranya masih
perlu ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda, menggunakan kaidah yang
berbeda-beda pula, sebab maksud hadis yang berbeda-beda itu memilki kepentingan
yang berbeda-beda pula. Perbedaan tafsir itu ketara dalam berbagai kitab tafsir
al-Qur`an, kitab Fiqih, tafsir Hadis dan risalah Tasawuf yang berbeda-beda
sesuai dengan faham dan mazhab yang dianut penulisnya.
Hadis-hadis yang memuat larangan penggunaan musik digolongkan ke dalam
Lawh al-hadis. Ibn Katsir menyebut Lawh al-Hadis sebagai hadis-hadis berkenaan
dengan perbuatan yang membuat orang lalai menjalankan perintah agama dan
berpaling dari mendengarkan kalam ilahi. Misalnya disebabkan mendengarkan suara
suling, petikan alat musik, nyanyian dan permainan tertentu yang mempesona.
Dalam Tafri al-Futuhah al-Hahiyah disebutkan bahwa yang dilarang dalam lawh
al-hadis ialah semua permainan yang membuat orang lalai mengerjakan ibadah dan
berzikir kepada Allah. Contohnya sihir, lelucon, perbuatan khurafah, nyanyian
dan musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar